Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis. Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi (1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan (1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
26/12/15
PERKEMBANGAN SASTRA ARAB MODERN
PENDAHULUAN
Kesusasteraan arab terus mengalami
dinamika sejak masyarakat arab menghadapi lingkungannya; geografis yang amat
memungkinkan timbulnya imajinasi dan kreativitas. Yakni sebuah kebudayaan yang
terbentuk sebagai ekspresi purba dan menyatakan kehendak. Perang dan anggar
garis keturunan ke atas. Ayyam al ‘Arab, yaitu peristiwa-peristiwa
penting yang menimpa masyarakat Arab dan al ansab (geneologi) yang
membuat silsilah keturunan, secara umum menjadi simbol kebanggan bagi masyarkat
Arab. Dua jenis pengetahuan ini banyak terekam karya sastra (Dr. H. Ahmad
Muzakki, M.A, 2011;1).
150 tahun sebelum syiar Islam
datang, masyarakat timur tengah boleh dikategorikan purba. Karena mereka
memiliki tradisi yang berat bagi kehidupan. Bagaimana perempuan yang baru lahir
harus dikubur hidup-hidup karena tidak mampu berperang mengalahkan pihak lawan.
Dan justru memperlemah kekuatan kabilah.Tujuan dan bentuk puisi pun secara
alamiah memang murni dari alam. Seperti hentak kuda dan pelecehan suku lawan
dengan habis-habisan, menjadi petunjuk kesusteraan arab mereka. Mereka pun
mengapresiasi puisi terbaik untuk ditunjukkan kepada semua orang di kabbah
dengan menggantungnya.
Sejalan dengan fase kehidupan,
berangsur-angsur dari syiar Islam, perlu suatu sistem untuk menghimpun rakyat,
kedaulatan, dan wilayah sehingga terbentuknya kerajaan-kerajaan paska wafatnya
Rasulullah di timur tengah, sampai bagaimana peradaban Islam di Eropa menandai
satu massa di mana kesusasteraan tidak menggeliat seperti di zaman jahiliyah
dan Islam. Sebab negara-negara timur tengah mulai mendirikan kerajaan dan fokus
kepada pembentukan dan pertahanan negaranya masing-masing. Untungnya di satu
titik ada di masa dinasti Abbasiah, lembaga penerjamahan (dar al hikmah)
sangat membantu mengembangkan karya sastra dan di bidang keilmuwan lain. Justru
ketika Turki sebagai negara eropa yang merupakan bagian dari peradaban Islam
masuk ke timur tengah, menyebabkan bahasa dan sastra Arab semakin jauh dari
kesusasteraan arab. Karena percampuran bahasa dan represif bahasa negara.
Ketika Mesir dan negara timur tengah
lainnya menjadi objek pendudukan Francis, para kolonial memperkenalkan kepada
mereka pemberitaan, lembaga penerbitan, dan majalah. Sebagai satu titik di mana
mereka juga memperkenalkan kesusteraan Francis bagi negara mereka. Gubernur
Mesir, Muhammad Ali merasa perlu mengirim orang-orang untuk mendalami dan
mempelajari kesusasteraan negara-negera Eropa. Sehingga studi demikian sebagai
pertanda adanya kebaharuan di bidang kesastraan yang akan dibawa pulang. Upaya
demikian juga memicu bentuk baru dalam karya sastra.
Ketika madrasah dan lembaga
keilmuwan yang telah ada digunakan untuk mengapresiasi karya sastra dari studi
ke eropa, maka memudahkan untuk mempelajari sebanyak mungkin peradaban eropa.
Sungguh telah bertambah perhatian studi sejarah bentuk kesastraan sejak abad 19
tahun di eropa. Dalam buku Sastra Arab Modern (fi al Adab al Hadis),
Dr. Hasan Hanafi menyebutkan bahwa madrasah bentuk kesastraan telah berkembang
di abad ke-20 dan telah ada dari dua agama yakni Protestan dan madrasah
Tubnjan. Dan telah dimulai kritik sejarah untuk kitab suci pada abad ke-18,
kemudian muncul madrasah kesejarahan pada abad ke-19 dan ilmu sejarah
perbandingan agama, lalu muncul pula penelitian-penelitian studi sejarah bentuk
kesastraan dua kitab suci dan kesastraan klasik khususnya dari peradaban yunani
dan peradaban yahudi. Kritik dari madrasah terbaru telah berganti dari
“kritik sumber” menjadi “kritik bentuk”, atau sebagaimana istilah ulama-ulama
studi hadis, perpindahan dari kritik “sanad” kepada kritik “matan”, dan
madrasah yang baru telah meminjam bentuk kesastraan dari kritik sastra
kompatibel dari teori umum karena sejarah sastra adalah sejarah bentuk
kesastraan, madrasah yang baru bergantung pada studi-studi jenis-jenis kesastraan
pada sastra klasik, dan perkembangan kritik sastra (Dr. Majid So’idi, 17).
Bagaimana kesastraan arab mengalami
totalitas identitas yang berubah seiring bagaimana sebuah negara atau
pembentukan negara terus berlangsung mengalami dinamika. Secara sederhana,
identitas keindahan dan wazan puisi arab tidak kalah baik dan indah bila
membaca karya sastra modern yang sudah bebas tanpa ada ikatan wazan.
a. Bagaimana
perkembangan karya sastra arabmodern?
b. Bagaimana puisi arab
modern?
c. Bagaimana prosa
arab modern?
d. Bagaimana drama arab
modern?
a. Memahami
perkembangan karya sastra modern
b. Memahami puisi Arab
modern
c. Memahami prosa
Arab modern
d. Memahami drama Arab
modern
Masa modern
dimulai sejak tahun ke-19 bersamaan dengan kedatangan atau pendudukan Francis
ke Mesir sejak 1213 H sampai 1798 H.[1] Faktor-faktor maraknya sastra di masa
modern saat itu adalah karena pembelajaran, penelitian ilmiah ke Eropa,
penerjemahan, percetakan, perpustakaan-perpustakaan, lembaga/balai bahasa dan
kampus-kampus bahasa, orientalisme, drama, dan broadcasting.
Dua sebab yang
menyebabkan perkembangan modern, pertama komunikasi dengan kitab-kitan klasik
yang terdahulu sehingga menyebabkan penyebaran percetakan dan
perpustakaan-perpustakaan dan tampaknya adanya kampus-kampus bahasa.Dan yang
kedua karena komunikasi dengan peradaban barat modern yang menyebabkan adanya
penelitian ilmiah ke Eropa, penerjemahan, orientalisme, dan asilimasi dengan
bahasa asing. Dari yang sebab kedua juga menyebabkan perkembangan dan perbedaan
dalam karya sastra. Dalam bidang prosa, para sastrawan mulai meninggalkan
tema-tema yang lama seperti surat, pitutur, dan munculnya jenis prosa baru,
yakni cerita, naskah drama, dan makalah/laporan. Dan kalau dalam puisi, mulai
ditinggalkannya tema-tema lama dan diperkenalkannya tema-tema baru seperti
puisi sosial, politik dan lain sebagainya. Adanya seni baru seperti puisi drama
dan puisi epos[2]. Dan adanya aliran-aliran sastra.
Pada bidang puisi
perkembangan karya sastra ditunjukkan dengan adanya aliran-aliran puisi. Ada
tiga tingkatan dalam puisi dan di setiap aliran ada karakteristik seni yang
istimewa. Yakni aliran neo-klasik, aliran romantisme dan aliran puisi baru atau
puisi bebas:
a.
Aliran neo-klasik
Aliran ini memiliki ciri-ciri:
1.
Dari segi kandungan puisi berisi tentang tema-tema lama seperti al madh, al
ghozal, fakhr, dan tema-tema yang baru yang berhubungan dengan kehidupan
dan permasalahan sosial dan politik.
2.
Dari segi gagasan, bentuk, dan ungkapan, dari segi gagasan masih yang masih
melingkupi gagasan tentang akal dan hikmah. Sedangkan bentuknya atau
tipografinya masih seperti yang lama, dan lafaz-lafaz serta struktur merupakan
bagian yang teratur dan berirama.
3.
Dari segi lirik syair dan kesatuan seni masih menggunakan wazan dan qofiyah
4.
Penyair-penyair dalam aliran ini adalah Ahmad Syauqi, Hafiz Ibrahim, dan Ali al
Jarim dari Mesir, Jamil Jahawi, dan Ma’ruf al Rosafi dari Irak, Hamid Said al
amudi, Hamzah Saatah, dan Tohir Zamhasyari dari Arab Saudi
5.
Contoh Syiir aliran neo-klasik seperti dalam kitab al Wasith:
من لى بتربة
بتربية النساء فإنها
فى الشرق علة
ذلك الإخفاق
الأم مدرسة
إذا أعدتها أعددت شعبا
طيب الأعراق
أنا لا أقول
دعوا النساء
سوافرا بين
الرجل يجلن فى الأسواق
يدرجن حيث
أردن، لا من وازع يحذرن رقبتة، ولا من واق
كلا ولا
أدعكم أن تسرفوا
فى الحجب والتضييق والإرهاق
b.
Aliran Romantisme
Adanya romantisme menimbulkan dua
aliran yang berlawanan dan berkesamaan. Yakni Dr. Ahmad Muzakki dalam bukunya
Pengantar Teori Sastra Arab menjelaskan bahwa aliran yang pertama, mereka
hanya terikat pada qafiyah (sajak), sebagaimana yang dilakukan Abu Al
Athiyah pada masa Abbasyiah. Dalam hal ini mereka juga dipengaruhi oleh William
Shakespere, seorang sastrawan romantik Inggris terkenal. Pada masa mereka yang
dikenal dengan sebutan puisi lepas (syi’ir al mursal). Yang kedua adalah
yang beraliran bahwa mereka sama sekali tidak menerima arudl, baik wazan
(musikalitas) maupun qafiayah (sajak), tidak terikat oleh aturan
klasik, atau bergaya prosa liris. Salah satu dari keduanya dari tanah arab dan
pemuka dari aliran ini adalah Khalil Gibran dan dari aliran romantisme
menimbulkan dan membekaskan pada perasaan dan emosi yang lembut, kealamihan
yang indah yang berasal dari Libanon dan karena hubungan dari kebudayaan
Francis. Dan Khalil Gibran memulainya dengan lirik syair dengan judul al masa’
pada tahun 1902 H dan telah dipelajari. Dan karakteristik dari aliran ini
adalah:
a.
Pemerhatian kepada perasaan dan ungkapan tentang zat
b.
Bergantung pada imajinasi dan kalimat retoris/ balaghah
c.
Emosi yang alami dan personifikasi
d.
Menggunakan bahasa sensitif/menyentuh dan music yang tenang
e.
Dan ada juga yang tetap menjaga kesatuan sajak dan rima
f.
Madrasah diwan didirikan oleh tiga pemuka gerakan pembaruan; mereka adalah
Abbas Muhammad al Aqod, Ibrohim Abdul Qodir al Mazani, dan Abdurrahman Syukri.
g.
Contoh puisi aliran romantisme adalah puisi dari Khalil Gibran:
شكوى
شاك إلى
البحرى اضطرب خواطر
فيجيبنى برياحه الهوجاء
ثاو على صخر
أصم وليت لي قلبا كهذي الصخرة الصماء
Dan ada juga aliran romantisme ini
berasal dari aliran imigran. Dan penyair dari jenis ini memaksudkan pada sastra
(migrasi) arab, karena mereka berhijrah atau bermigrasi dari Syam ke Amerika
Utara dan Amerika selatan. Alasan mereka berhijrah adalah karena ingin
mempelajari majalah dan koran bekas peninggalan kolonial. Imigrasi dimulai pada
abad ke-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi puisi-puisi imigran adalah:
a.
Kepribadian mereka dipengaruhi oleh budaya barat dan masyarakat sekitar mereka
yang ikut bermigrasi
b.
Kerinduan pada tanah air dan rasa nasionalisme
c.
Komunikasi dengan kebudayaan asing
Karakteristik puisi imigran adalah:
1.
Dari segi isi: mereka menggunakan teori eksistensi dan masyarakat humanis
tentang cinta, kasih sayang, kebaikan, seruan akan sadar pada prinsip,
persamaan, simpati dan tenggang rasa. Selain itu tentang kealamiahan (mencakup
penggambaran tentang angan-angan dan adaptasi) dan kerindauan pada tanah air.
Dan terakhir simbol-simbol.
2.
Dari segi bentuk: pembaruan dalam wazan dan qofiyah, jelas dan
mudah dalam struktur, dominasi bentuk syair cerita dalam lirik syair, sedikit
mengikuti orisinalitas leksikologi serta memperhatikan pada irama lafaz.
3.
Contoh Puisi Imigran adalah puisi dari Ilya Abu Madhi:
إن نفسا لم
يشرق الحب
فيها هي
نفس لم تدر ما معنها
c.
Aliran Puisi Baru atau Puisi Bebas
Aliran ini berdiri karena didorong
oleh faktor politik dan ekonomi paska perang dunia kedua, bersamaan dengan
lemahnya pengaruh aliran romantisme yang dibangun atas dasar imajinasi, dan
telah tampak kecenderungan lain yang dikenal dengan kecondongan kepada hal-hal
yang fakta, serta dari segi isi dan bentuk berbeda dengan apa yang pernah
ditulis sebelumnya.
Dalam kitab al adab wa an nusus
lighairi an natiqina bil arobiyyah, disebutkan bahwa ada dua hal yang
disampaikan dalam isi atau makna puisi arab baru atau puisi bebas:
a.
Puisi yang menyampaikan tentang pengalaman nyata yang hakiki yang dimaksudkan
bahwa semua puisi bertema-tema kehidupan.
b.
Puisi memiliki fungsi sosial untuk membuka tentang rakyat yang terbelakang,
menyeru pada percampuran semua penduduk, membantu gerakan-gerakan pembebasan
dan berusaha menciptakan hidup yang lebih baik.
Puisi ini tidak terikat dengan
aturan wazan dan qofiyah, tetapi masish terikat dengan satuan
irama khusus yang menjadi karakteristik karya sastra bernilai tinggi. Penyair
hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasi, sehingga iramanya berisfat
subjektif (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A, 2011;57).
A. Tema-tema, gaya bahasa, dan
makna-makna pada puisi modern:
1.
Tema-tema puisi modern
a.
Al Washf
Al Washf adalah tema
puisi yang sudah menjadi tema umum dari masa klasik kesusasteraan Arab sampai
di masa modern.Tema ini selalu membicarakan puisi untuk menggambarkan keadaan
alam dan lingkungan.Al washfu dianggap sebagai tema-tema orisinil
kesusasteraan arab, semenjak mereka menemui setiap tempat dekat dengan
perasaan mereka, yang mereka dapatkan, atau apa yang deskripsikan, sehingga
tidak heran bahwa para penyair modern menghadapi lebih banyak ketika penulisan
tema ini dengan banyak hal; tema. Sungguh-sungguh mereka telah mendeskripsikan
tentang ketubuhan/olahraga, pepohonan, laut, sungai dan setiap pemandangan dari
yang jelek sampai yang bagus, menjadi pengaruh pada jiwa mereka menjadi takjub
dan tak percaya (Dr. Muhammad Said bin Husain, 1405 H:26).
Berikut contoh puisi Ahmad Syauqi tentang laut (Dr.
Muhammad Said bin Husain, 1405 H:26)
همت الفلك و
احتواها الماء وحداها بمن تقل الرجاء
ضرب البحر
ذوالعباب حواليها سماء قد أكبرتها السماء
ورأ المارقون
من شرك الأرض شبك تمدها الدماء
وجبالا
موائجا فى جبال تتدجى كأنها الظلماء
ودويا كما
تأهبت الخيل وهاجت حماتها الهيجاء
لجة عند لجة
عند أخرى كهضاب ماجت بها البيداء
وسفين طورا
تلحو وحينا يتولى أشباحهن الخفاء
نازلات فى
سيرها صاعدات كالهوادى يهزهن الحداء
((رب)) فى
شئت فالفضاء مضيقوإذا شئت فالمضيق فضاء
b. Al
Madah
Selain al washfu, al madah
juga karakter puisi arab modern. yang selalu membicarkan tentang pujian.
Obyeknya berbeda-beda, bisa kepada sifat baik dan akhlak yang mulia orang lain
atau kepada makhluk Tuhan. Berikut contoh puisi Ahmad Syauqi tentang pujian
kepada bunga mawar (Dr. Muhammad Said bin Husain, 1405 H:27)
قم فى فم
الدنيا و حي
الأزهرا
وانثر على سمع الزمان الجواهر
واجعل مكان
الدر إن
فصلته
فى مدحه جرخ السماء النير
c.
Ar Ritsa’
Ar ritsa adalah puisi yang
membicarakan kesedihan. Karena selalu mengungkapkan tentang rasa gagal, sendu,
dan tidak menyenangkan.Dalam ritsa’, kadang-kadang penyair mengungkapkan
sifat-sifat yang terpujii dari orang telah meninggal, atau mengajak kita untuk
berpikir tentang kehidupan dan kematian. Tema ini paling banyak memberikan
pengaruh, karena penyair mengungkapkan tentang kejadian yang disaksikan (Dr. H.
Ahmad Muzakki, M.A, 2011;113).
Berikut contoh puisi Ahmad
Syauqi tentang ayahnya:
يا أبي
والموت كأس مرّة
لاتذوق النفس منها مرتين
كيف كانت
ساعة قضيتها كل شيء قبلها أو بعد هيت
أشربت الموت
فيها جرعة أم أشربت الموت فيها جرعتين
d. Al
Ghozal
Yakni seni yang membicarakan tentang
perilaku orang-orang arab. Khusus di masa modern. Berikut contoh puisi Rofi’i:
من للمحب ومن
يعنيه
والحب أهنؤه
حزينه
أنا من عرفت
سوى قساوته فقولوا كيف لينه
ان يقض دين
ذوى الهوى فأنا الذى بقيت
ديونه
قلبى هو
الذهب الكريم
فلا يفارقه زينة
e.
Al Fakhr wa al hammasah
Fakhr adalah tema
ini pada mulanyad digunakan untuk menggambarkan kemegahan diri atau suku, namun
sekarang digunakan untuk kepentingan bangsa (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A,
2011;133). Sebagaimana puisi Al Barudi:
إذا استلّ
منا سيد غرب سيفه تفزّعت الأفلاك و التفت
الدهر
f.
Al Hija’
Merupakan salah satu tema yang
sedikit menjadi urusan di masa modern, semenjak diangkat kembali oleh para
penyair.Khususnya puisi hija’ kepada seseorang.Puisi ini sangat sarat
kelembutan dalam lafaz-lafaznya.Pada masa ini hija’ ditujukan kepada
musuh-musuh bangsa, musuh-musuh Islam.Para penyair yang sering menuliskan tema
hija adalah Muhromi, Hafiz, dan lain sebagainya.
Dan ketika mereka mencela seseorang
dengan aib mereka, akhlak mereka, dan sifat-sifat mereka yang agung dan
baik.Seperti Syauqi ketika menghina Mustafa Kalam Turki.
أديم وجهك
يازنديق
لوجعلت
منه الوقاية والتجليد للكتب
لم يعلها
عنكبوت أينما
تركت
ولا تخاف عليها سطوة اللهب
g.
Puisi tanah air
Puisi menggambarkan tentang
nasionalisme rakyat dari satu negeri, angan-angan mereka, perspektif mereka
terhadap kolonial-kolonial dan lawan negeri.Dan tema puisi tanah air sebenarnya
berisi tentang penghinaan.Puisi dengan
tema cinta tanah air berupa pujaan kepada tanah kelahiran atau negeri tercinta.
قف الخلق
ينظرون
جميعا
كيف أينى قواعد المجد وحده
h. Puisi Sosial
Puisi membicarkan tentang kondisi
masyarakat, himbauankepada perbaikan dari apa saja yang merusak kehidupan
bermasyarakat. Memberitakan tentang kemiskinan dan sebab-sebabnya, dan
pengkhianatan dari para arsitektur, para dokter, para ilmuwan, dan para
fuqoha’, dan lain sebagainya. Sama halnya seperti yang mereka bicarakan
tentang khurafat dan kekuasaan dalam masyarakat. Dan mereka mengatur tentang
pendidikan para remaja dan pembangunan sosial dan penyediaannya. Dengan sastra
bertema puisi sosial ini menghimbau untuk menyebarkan rasa untuk belajar dan
memerangi kebodohan dan kemiskinan.
أحياؤنا
لايرزقون
بدرهم
وبألف ألف ترزق الأموات
من فى بحظ
النائمين بجفرة
فأنت على
أحجارها الصلوات
Dan selain puisi-puisi neo-klasik di
atas, pada masa modern ada juga puisi bertema sejarah, pendidikan, puisi
simpati dan puisi keagamaan.
2.
Seni Baru dalam Puisi
a.
Musikalisasi Puisi
Puisi yang membicarakan tentang
musik dan mengungkapkan perasaan dan emosi sebagaimana perasaan orang dulu
yakni al madh, al fakhr, al ghozal, ar ritsa’, al washfu dan lain
sebagainya.
b.
Epos
Yakni puisi tematik yang
menyampaikan tentang kisah-kisah yang berhubungan dengan kehidupan seorang
pahlawan dan dipadukan dengan legenda yang pernah bergolak dengan perasaan. Dan
lirik syairnya panjang karena sampai pada 1000 bait.
Dengan adanya komunikasi dengan
sastra dari para bangsa barat dan menerjemah epos Yunani seperti Elijah dan
Odessa (Homerus), dan Synamah dari puisi al Faris (Firdaus) para penyair
berusaha memasukkannya dengan warna sastra arab, dan contohnya (pemuda gunung
yang hitam) Khalil Gibran, (Elizah Islam) Ahmad Muhrom, yakni yang
menggambarkan tentang saat-saat perang-perang masa Rasulullah. Dan Tidak lupa
pada apa yang disusun oleh Umar Abu Rishah yakni epos-epos pahlawan dalam Tarikh
al Arab (Hasan Khamis al Maliji: 1149; 340)-341.
c.
Puisi Drama
Jenis puisi yang membicarkan tentang
berbagai peristiwa ragam kepribadian dan berbagai percakapan yang ditulis untuk
drama menjadi sebuah sandiwara atau yang dibangun dengan alur peristiwa. Dan
jenis ini adalah asli dari sastra arab modern dari penyair Ahmad Syauqi yang
dirintisnya dalam bidang puisi drama dianggap sebagai pemuka drama puisi (Hasan
Khamis al Maliji: 1149; 341).
2.3 Prosa Modern
Pada awal masa-masa ini, bahasa
‘aamiyah berada dalam puncak kemerosotan. Kemudian setelah pengajaran tersebar
ke semua lapisan masyarakat Mesir, masuklah kedalam bahasa mereka banyak sekali
kata-kata fasih, yang kemudian meluas kepada keluarga mereka yang buta huruf
dan kepada kaum wanita.
Hal ini ditunjang oleh penggunaan
bahasa fasih dalam pengaduan-pengaduan ke Mahkamah, dan oleh banyaknya surat
kabar, majalah-majalah, dan cerita-cerita sastra. Puisi-puisi jenis zaji,
mawaliya dan wawu berkembang, dan wawu berkembang, dan pada masa Ismail Pasya
puisi zaji mencapai puncaknya. Diantara para tokoh-tokohnya yang kenamaan ialah
Muhammad Usman Jalal Bey, Sayid Abdullah an-Nadiem, Syaikh Muhammad an-Najjar,
Syaikh Muhammad al-Qoushy, dan lain-lain tetapi jenis puisi ini akhirnya
merosot sebab dikalahkan oleh puisi fasih dan dikarenakan keengganan para
pembesar untuk mendengarkannya.[3]
Perkembangan prosa dalam kesusastraan Arab dapat dibedakan menjadi dua
tahap, yaitu:[4]
1. Prosa pada tahap permulaan pembaharuan
Pada masa ini, para penulis masih mengikuti para pengarang masa sebelumnya,
yaitu masa Turki. Mereka tidak saja meniru gayanya, tapi juga isinya. Mereka
masih tetap memperhatikan saja' (prosa lirik), jinas (asonansi), dan tibaq
(antitesis). Mereka lebih mementingkan permainan kata-kata daripada isi dan
idenya. Gaya dan isi seperti ini muncul di berbagai negara Arab. Akan tetapi,
setelah itu, muncul unsur-unsur pembaharuan seperti yang tampak pada pengarang
terkenal seperti: Adurrahman Jabarti (1754-1822), Ismail Khasab (w. 1815), dan
Abdullah Fikri (1834-1889).
Unsur-unsur pembaharuan dalam prosa Arab ini berkembang secara bertahap
dalam masyarakat Arab. Para pengarang sudah mulai memperhatikan aspek pemikiran
dan makna tulisannya, kebiasaan mengarang sudah mulai tumbuh dalam masyarakat
Arab. Di antara para pengarang masa ini adalah Rifa'at Tahtawi (1801-1873),
Ibrahim al-Muwailihi (1846-1906), dan Nasif al-Jazili (1800-1871).
2. Prosa pada tahap pembaharuan
Terjadinya pembaharuan di bidang prosa pada masa ini disebabkan oleh
munculnya para reformis dan pemikir yang menyebabkan terjadinya pembaharuan
dalam masyarakat Arab dan Islam, seperti Muhammad Abdul Wahab (1703-1792) di
Saudi Arabia, Jamaludin al-Afgani (1838-1897) di Afganistan, dan Muhammad Abduh
(1839-1905) di Mesir, serta Abdurrahman Kawakibi (1849-1902) di Syiria, serta
munculnya sarana-sarana kebudayaan, terutama bidang penerbitan dan surat kabar.
Surat kabar mempunyai peran besar dalam pembaharuan prosa di negara-negara
Arab, juga munculnya kesadaran politik dan sosial di negara-negara Arab.
Ciri-ciri prosa pada masa ini adalah lebih memperhatikan pemikrian daripada
unsur gayanya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja' tibaq,
seperti pada masa sebelumnya. Pemikirannya runtun dan sistematis, penulis tidak
keluar dari sati gagasan ke gagasan yang lain, kecuali gagasan yang satu telah
selesai, pendahuluannya tidak terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang
sedang terjadi pada masyarakat, seperti masalah politik, sosial, dan agama.
Perkembangan prosa Arab pada tahap ini tidak berjalan pada satu garis,
melainkan berjalan pada dua kecenderungan. Kecenderungan pertama, mereka yang
menyerukan agar berpegang teguh pada kebudayaan Arab dan Islam yang asli dengan
mengambil manfaat dari kebudayaan Barat. Di antara para pengarang yang
mempunyai kecenderungan seperti ini adalah: Mustafa Luthfi al-Manfaluti,
Mustafa Shadiq ar-Rafi'i (1881-1937), Abdul Aziz Bisyri (1886-1943), Syarkib
Arsalan (1869-1946), Ahmad Hasan az-Ziyat (1885-1968), dan Mahmud Abbas
al-Aqqad.
Kecenderungan kedua, mereka yang sama sekali menjauhkan diri dari pengaruh
kebudayaan Barat. Di antar pengarang yang masuk ke dalam kecenderungan ini
adalah: Amin Rihani (1876-1940), Ibrahim Abdul Qadir al-Mazini (1890-1949),
Muhamad Husein Haekal (1869-1946), Ahmad Amin (1878-1954), dan Taha Husein.
A. Genre Prosa
Modern[5]
1. Rosail atau
risalah
Rosail
merupakan salah satu genre prosa yang ada pada masa ini. pada akhir abad ke 19
dan awal abad ke 20 banyak terdapat kitab rosail terkenal karangan para
sastrawan pada masa ini seperti Abdullah Fikry, Syeikh Muhammad Abduh, Hifni
Na’shif, Adib Ishaq, Ahmad Miftah, Abdul Aziz jäwiz, dan bahitah al badiyah.
Karangan mereka terkenal dengan sebutan Rasail Al-Ikhwaniyah yang mana
penjelasan didalamnya menjelaskan tentang sebagian hubungan kemanusiaan
(hubungan sosial) diantaranya adalah ucapan selamat, ucapan bela sungkawa,
rindu, harapan, celaan, dan sifat yang menggambarkan tentang permasalahan
kehidupan, dan hubungan antara antara manusia. (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 174)
2. Khitabah
Khitabah adalah sejenis perkataan
dan merupakan cara untuk memuaskan sesuatu dalam mempengaruhi seseorang ataupun
kelompok, hadirnya khitabah adalah untuk mempertahankan pendapatnya sendiri dan
merupakan reaksi terhadap hal-hal yang menyangkut pendapat tersebut. Sedangkan
perkembangan khitobah pada masa ini lebih berisi tentang as
siyaisyah atau
politik. (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 177)
3. Kisah (Qishshah) adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang
bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang
logis dan menarik, perkembangan Qishshah pada masa sastra Arab modern terbagi
dalam 3 tahapan (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 178), yaitu:
1.
Fase pertama ialah fase penerjemahan Qishshah sastra Barat kedalam bahasa Arab,
Rifah Athohtowi merupakan sastrawan pertama penerjemah Qishashah pada fase ini
2.
Fase yang kedua adalah fase untuk Qishshah bahasa Arab, Qishshah ini muncul
dikarenakan munculnya kisah-kisah tentang sejarah. George zaedan merupakan
orang yang pertama kali menulis 18 kisah yang disandarkan pada sejarah Arab
Islam.
3.
Fase yang ketiga adalah Qishshah bahasa Arab yang muncul dikarenakan adanya
kisah social.
Prosa modern mempunyai tiga jenis utama, yaitu:[6]
1. Kitabah Diwaniyah(الكتابة
الديوانية)
Kitabah Diwaniyah adalah prosa yang
ditulis dengan pena para kuttab diwan dan editor di sebuah lembaga pemerintahan
dan umum. Kitabah diwaniyah terdapat di Mesir dan Syam (Syria) pada permulaan masa modern. Prosa
jenis ini menggunakan bahasa ‘amiyah yang bercampur dengan bahasa Turki,
sedangkan bahasa fushahnya ditiadakan. Hal itu membuat prosa ini menjadi lemah.
Jenis prosa ini hanya ada di dua negara tersebut (Mesir dan Syam) dan
negara-negara disekitarnya, seperti Irak kira-kira hingga tahun 1325 H.
Kemudian para pemikir muda di Mesir mulai mengadopsi reformasi metode-metode
kitabah diwaniyah. Hal itu mengalami kemajuan dalam perkembangannya dari waktu
ke waktu hingga pertengahan abad keempat belas dan sangat bagus dalam hal
kefasihan lafaz, kontinuitas gaya bahasa dan menjaganya dengan mudah.
2. Kitabah at-Ta’lif (كتابة
التأليف)
Kitabah at-Ta’lif adalah metode yang
dirumuskan/disusun dari realitas ilmiah dalam segala bidang ilmu seperti fiqh,
sastra, kedokteran, dan lain-lain. Prosa ini menggunakan bahasa fushah yaitu
gaya bahasa yang jelas, beda dengan kitabah diwaniyah.
Dalam prosa ini tidak diperbolehkan
menggunakan majaz serta jenis-jenisnya, seperti majaz aqli, mursal, isti’aroh,
kinayah dan tasybih dimni. Sedangkan tasybih wadih boleh digunakan ketika
dibutuhkan untuk menjelaskan beberapa masalah. Pada permulaan masa modern
bahasa karangan merupakan kelemahan seni badi’, seperti halnya bahasa ‘amiyah
pada gaya bahasa sebagian para pengarang, termasuk al-Gibrani dan Ibnu Ghanam.
Ketika koran mulai bermunculan, percetakan
mencetak
buku-buku tersebut. Para pengarang mulai menyusun gaya bahasa baru seperti
al-Jahith dan Ibnu Kholdun. Maka kitabah ta’lif mengalami kemajuan hingga
mendapat tempat di dunia percetakan. Gaya bahasa pengarang yang ilmiah menjadi
percontohan bahasa arab asli baik secara lafad maupun gaya bahasa.
3. Kitabah Adabiyah (الكتابة
الأدبية)
Kitabah
adabiyah adalah prosa yang dihasilkan oleh rasa dan perasaan insan yang
menggambarkan keburukan dan kecantikan serta kejadian-kejadian dalam kehidupan
manusia. Yang mana ketika sastrawan mulai merangkai kata-kata mereka
dipengaruhi intuisi dan perasaan dalam suatu kejadian yang berbeda dengan
kecenderungan dan orientasi sang sastrawan pada tema-tema dan seni sastra.
Begitu pula perbedaan kemampuan sastrawan dalam bidang bahasa dan penggambaran
sastra.
Pada
permulaan masa modern prosa jenis ini memiliki struktur lafaz tanpa rasa,
intuisi, dan perasaan seperti dalam media massa. Sebelum pertengahan abad
ketigabelas hijriah orang-orang Nasrani Barat menggiatkan prosa di Syam,
khususnya Lebanon. Mereka juga membuka sekolah-sekolah yang berusaha menarik
minat anak-anak negeri pada prosa. Dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa
pendidikan, dan diharuskan menggunakan buku-buku sastra arab dalam belajar
mengajar. Maka anak-anak Syam dipengaruhi oleh gaya bahasa arab klasik dan
mereka mulai berusaha menyalinnya. Kitabah fanniyah digiatkan di Syam dan
benar-benar diajarkan pada masyarakatnya yang mayoritas orang-orang Nasrani
yang hijrah dari Mesir yang melarikan diri dari Usmani. Mereka merintis koran
(media cetak) di Mesir, yang mereka adaptasi dari koran Syam. Masyarakat Mesir
melihat adanya pemikiran dan sastra yang mirip dengan Syam. Hal itu
menghasilkan gerakan sastra yang menghidupkan kitabah fanniyah dengan baik dan
para pemuda yang sangat unggul dalam bidang sastra itu memprioritaskan kitabah
adabiyah. Hal ini diwarisi dari tulisan-tulisan yang ada pada hadis-hadis dan
karangan-karangan. Orang-orang yang pertama kali menyebutkannya antara lain Mustafa
Lutfi, Muh. Husein Haikal, Thoha Husein, dan masih banyak lagi. Dengan tangan
merekalah kitabah adabiyah mencapai puncak kejayaannya hingga pada tahun 1372 H
koran dan majalah tidak lagi berpedoman pada pemikiran ketuhanan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan kitabah:
1.
Munculnya warisan Arab
2.
Adanya koran
3.
Digiatkannya gerakan kritik
4.
Kebangkitan umum yang mengawali di bidang ini
B. Karakteristik Prosa Modern:[7]
Dalam sejarah kesusastraan Arab
modern, sastra prosa telah berhasil mengekspresikan suasana yang kontemporer
dan menyebarkan isu-isu individu, keluarga, dan masyarakat. Ciri-ciri
kebangkitan sastra prosa pada masa ini dapat dilihat dengan adanya perhatian
yang besar terhadap bangkitnya kembali karya-karya Arab klasik, baik dalam
bentuk kesusastraan, filsafat, dan disiplin ilmu lainnya (Ahmad Bahruddin,
2011).
Ciri-ciri prosa pada masa ini adalah
lebih memperhatikan pemikrian daripada unsur gayanya, tidak banyak menggunakan
kata-kata retoris seperti saja’, tibaq, seperti pada masa sebelumnya.
Pemikirannya runtun dan sistematis, penulis tidak keluar dari satu gagasan ke
gagasan yang lain, kecuali gagasan yang satu telah selesai, pendahuluannya
tidak terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang sedang terjadi pada
masyarakat, seperti masalah politik, sosial, dan agama. Perkembangan bahasa pun
mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan
berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik
berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat.
Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang
panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan
kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat,
dan serba cepat (Ahmad Bahruddin, 2011).
Defenisi Drama yaitu suatu karya
sastra yang mengungkapkan suatu cerita melalui dialog-dialog para tokohnya.
Salah satu ciri drama adalah dialog, dialog merupakan unsur drama yang
membedakan antara drama dengan epos dan kisah-kisah.[8]
A. Drama Dalam
Sastra Arab
Pertama kali drama Arab dirintis
sekitar pertengahan abad 19 di suriah. Suriah juga mencakup libanon dan
palestina karena semuanya di gabungkan. Adapun orang yang pertama kali memulai
drama arab yaitu (marwan an-naqos 1817-1855). Sedangkan kebudayanya bangsa
italia, perancis, turki dan kebudayaan bangsa arab itu mengambil dari seni
italia akan tetapi dari segi tema mereka bergantung pada drama-drama dan
kebudayaan perancis. Pada tahun 1848 marwan naqos menampilkan drama di rumahnya
yang terletak di Beirut dengan bantuan ahli penerjemah karya sastra drama,
drama yang ditampilkan berjudul البخيل (
L’Avare) dalam drama yang ditampilkan tersebut menunjukan karakter
bangsa-bangsa arab dilihat dari segi nama- nama tokohnya dan latarnya.
Adapun drama yang ke dua yaitu drama komedi oleh Abu Hasan yang diambil dari
karya sastra 1001 malam. Abu Hasan adalah keturunan dari kholifah Harun
ar-Rosyid, dan drama yang ke tiga sekaligus drama terakhir yang menceritakan
sejarah drama oleh Moliere .
Kelompok dramawan suriya yang
dipimpin oleh salim an-naqos (ibn akhi marwan an-naqos tiba di mesir pada abad
19. Diantara kelompok ini Adib ishaq dan Yusuf Khayat merupakan orang
pertama yang tiba di mesir sejak tahun 1876. Mereka juga sebagai wakil dramawan
di kairo atau iskandariah, dan sudah banyak drama-drama perancis klasik yang
sudah di terjemahkannya. Seperti drama (Andromak), (vedder) oleh penyair
perancis yaitu rosin , drama هوراس oleh
penyair كورني, drama (زينوبيا)
oleh penyair perancis klasik yaitu I’abbe D’aubignac.[9]
Drama di bagi menjadi 2 yaitu:
1.
Komedi adalah cerita yang akhirnya menyenangkan
2.
Tragedy adalah cerita yang akhirnya menyedihkan
Sastra Arab
baru mengenal genre drama pada masa modern. Mereka mengambil genre tersebut
dari Barat. Dalam perkembangan berikutnya, seni drama di dalam sastra Arab
adalah melalui empat fase:
1.
fase Marun Nuqas al-Lubnani yang meresepsi
seni drama ini dari Italia. Dalam karya dramanya berjudul al-Bakhil karya
Muller. Kemudian diikuti pula oleh karya-karya drama yang lain seperti Harun
al-Rasyid (1850). Karya dramanya yang bersifat jenaka musikal lebih dapat
dikatakan sebagai seni operet yang begitu memperhatikan aspek musikalitas dari
pada dialoq. Karya-karya dramanya dapat dicerna oleh cita rasa awam, hanya saja
karya ini ditulis dengan menggunakan bahasa campuran antara fusha, ami, dan Turki dalam gaya longgar (tidak baku).
2.
fase Abu Khalil al-Qubbani di Damaskus yang
memajukan seni drama dengan menampilkan banyak sekali kriteria-kriterianya
serta bercita rasa dapat dinikmati oleh awam dengan cara memilih drama-drama
kerakyatan seperti alfu laylah. Dialognya menggunakan bahsa fusha berupa campuran antara puisi dan prosa yang
kadang-kadang mempertimbangkan juga sisi persajakan. Ia terus menghasilkan
karya-karya drama di Damskus antara 1878-1884. Sayangnya, beberapa saat setelah
itu panggung dramanya ditutup dia pun lalu hijrah ke Mesir dan tetap menulis
karya drama.
3.
fase Yakkub Sannu’. Pada masa pemerintahan Ismail
Basha yang pada saat itu dibangun gedung pertunjukan di mana disitu ditampilkan
opera “Aida’ dengan menggunakan bahasa Perancis, dipentaskan pada pembukaan
terusan Suez tahun 1869. Pada tahun 1876 muncul tokoh Mesir dalam bidang drama
yang bernama Sannu’, populer dengan nama Abu Nazarah. Ia cenderung mengkritisi
sosial politik dengan menggunakan bahasa ammi. Kelompok-kelompok
penulis Siria dan Mesir melanjutkan penulisan karya drama di Mesir.
4.
fase perkembangan pada awal abad 20. Hingga
pada tahap ini, banyak drama di Mesir merupakan hasil terjemahan atau resepsi,
sebagian diantaranya diterangkan ini. Fase pertama 1910,
George Abyad pulang dari Perancis setelah di sana mempelajari prinsip-prinsip
seni drama, lalu dibuatkan karya drama sosial antara lain berjudul Misr al-Jadidah tulisan Farh Anton, juga dibantu
oleh Khalil Mutron dalam menerjemahkan beberapa novel Shakespeare seperti Tajir al-Bunduqiyah,Athil, Macbat, dan Hamlet. Fase kedua,
adalah Yusuf Wahbi mendirikan kelompok ramsis yang memperhatikan tragedi. Ketua
kelompok ini telah menulis kurang lebih 200 drama. muncul pula kelompok Najib
al-Raihani yang memiliki kecenderungan drama komedi kritik sosial. Fase ketiga, pasca perang dunia pertama. Di dalam
dunia drama muncul aliran Mesir Baru (madrasah al-Misriyah al-Jadidah) yang
begitu perhatian terhadap karya drama. Memberikan sentuhan pada probelatika sosial
serta cara-cara mengatasinya dengan pasti. Di antara tokohnya adalah Muhammad
dan Mahmud Taymur. Fase keempat,
mucullah penulis drama Arab modern terbesar Taufiq el-Hakim yang berhasil
menuntaskan studi atas prinsip pokok drama di Perancis. Ia menulis lebih dari
60 judul karya drama lengkap dengan struktur dan temanya, demikian pula dialog
dan penokohannya. Taufiq begitu ambisius untuk dapat menyertai gerakan
perkembanga modern dalam dunia drama. Oleh karena itu, tampak terus mengikuti
perkembanga draman barat beserta kecenderungannya. Tidak heran, bila ia dapat
berpindah-pindah tema dari drama sejarah ke drama sosial, lalu drama ideologis
yang menyelesaikan problema mentalitas. Setelah di dunia Barat muncul drama
absurd, ia pun juga melakukan hal yang sama berjudul, Ya
Tali’ Syajarah, dan Ta’am Likulli Famm.
2.5 Para Sastrawan Modern
1. Abbas Mahmud Al-Aqqod (1307 H –
1384 H)
Lahir di kota Aswan, Mesir 28 Juni
1889 M / 1307 H. Dia merupakan penyair dan penulis prosa. Sejak kecil dia suka membaca buku atau majalah
di perpustakaan ayahnya, terutama yang berkaitan dengan sastra. Dia juga suka
mendengar syair-syair dan hadist di majlis ilmu Syekh Ahmad Al-Jadawi.[10]Tampak dalam dirinya aura kecerdasan.
Kegemaran dan kepiawaian al-‘Aqqâd dalam bidang tulis-menulis, membuatnya
dibanjiri pujian oleh guru-gurunya. Seperti Muhammad ‘Abduh, Sa’d Zaglul, dan
Abdullah Nâdim. Sementara di luar sekolah, ia juga belajar kepada Qadhi Ahmad
Jadami, seorang ahli fiqih sahabat Jamaluddin al-Afgani.
Al-‘Aqqâd
adalah seorang jurnalis, kritikus, dan sastrawan Mesir terkemuka. Kontribusi
pemikirannya cukup berperan dalam pengembangan wacana keagamaan dan sosial.
Bahkan dirinya juga termasuk salah seorang penyair ternama Mesir yang bersama
Abdurrahmân Syukri dan Ibrâhîm Abd al-Qâdir rl-Mâzinî membentuk grup Diwan, yaitu kelompok pembaharu dalam sastra arab
Mesir.
Karier
al-‘Aqqod sebagai jurnalis dimulai sejak ia berumur 16 tahun. Pada mulanya,
cita-citanya ingin menjadi pegawai pemerintah, tetapi peraturan yang ada
mensyaratkan bahwa calon pegawai harus berumur 18 tahun. Sehingga keinginannya
belum dapat tercapai, sebab ia harus menunggu dua tahun lagi. Pada masa
menunggu inilah , al-‘Aqqod menerbitkan majalah mingguan Raj’u Sada, juga menjadi penulis pada majalah al-jaridah pimpinan Ahmad Luthfî al-Sayyid, dan
majalah az-Zahir pimpinan Abu Syadi, al-Mu’ayyad, dan
al-Liwa’. Dalam bidang jurnalistik ini, ia mendapat bimbingan dari Muhammad
Farîd Wajdi, seorang ulama’ dan penulis terkemuka di Mesir dan pernah bergabung
dalam penerbitan surat kabar ad-Dustur. Membaca
adalah hobinya, sehingga membuat dirinya bekerja hanya untuk dapat membeli
buku. Akibatnya, tulisan-tulisannya begitu tajam, kritis dan cerdas.
Sebagai satrawan, sumbangan
al-‘Aqqod terlihat pada tulisan-tulisannya, baik dalam bentuk puisi maupun
prosa. Ciri khas puisinya terletak pada sisi kehalusan perasaan (kepekaan rasa)
dan pikiran yang menjadi suatu paduan yang sangat serasi. Karya puisi-puisinya
mengetengahkan pendapat-pendapat yang brilian. Menurutnya, puisi yang hanya
menerbitkan bentuk teksnya saja tidak akan berbobot dan puisi tidak hanya cukup
pada cerita atau puisi cerita. Akan tetapi, yang terpenting dalam puisi adalah
maknanya. Sebagai kritikus, al-‘Aqqod telah memberikan kritik terhadap puisi
dan prosa yang ada sambil mengemukakan pendapat untuk memperbaharuinya. Susunan
bahasa puisi dan prosa yang penuh hinaan tak berisi diarahkannya kepada susunan
kata yang penuh arti dan padat isi. Hal tersebut dapat digali dari keindahan
lingkungan dan kekayaan budaya Mesir. Sebab, hal itu dapat menjadi bahan
imajinasi dan bahan gubahan. Pikiran-pikirannya dalam bentuk puisi dipublikasikan
di majalah yang telah disebutkan di atas sejak sebelum Perang Dunia I.
Al-‘Aqqod berpendapat bahwa seorang penulis sejati
adalah pemikiran orisinil dari pikiran dan metodenya sendiri tanpa mencontoh
sedikitpun karya-karya sebelumnya. Oleh karena itu, ia mengkritik
penulis-penulis seperti Ahmad Syauqi dan Thaha Husein yang dianggapnya hanya
mampu berfikir dengan metode orang lain dan sedikit sekali pemikiran orisinil
yang dihasilkannya.[11]
Bukunya
mengenai peradaban mencapai seratus buku.Salah satunya yaitu شعراء مصر
وبيئاتهم في الجيل الماضي. Buku ini menjelaskan tentang uslub (gaya
bahasa) yang dipakai para ilmuwan ahli sastra serta mencakup ide dan pemikiran
Al-Aqqod.[12] Selain itu, karyanya yang berjudul Mausu’ah ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad (Ensiklopedi
‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad)(1970) yang terdiri dari 5 jilid juga diterbitkan
oleh Dar al-Kitab al-Arabi di Beribut. Buku tersebut adalah kumpulan
tulisan. Dalam karya-karya itulah al-‘Aqqad mempublikasikan beberapa pemikiran
yang dianggap orisinil tentang berbagai segi kehidupan umat Islam. Pemikiran
yang berupa obsesi untuk membawa umat Islam kepada kemajuan.
Karya sastra al-‘Aqqod pertama kali
diterbitkan pada tahun 1916 berupa antologi puisi. Setelah itu menyusul
beberapa buku antologi puisi yang lainnya seperti: هداية
الكروان, أعاصير المغرب, حي الأربعين, dan عابر سبيل.
Abbâs Mahmûd Al-‘Aqqod meninggal di Kairo 12 Maret 1964.
2. Mustafa Shodiq ar-Rofi’i (1298 H – 1356 H)
Lahir pada tahun 1298 H di Mesir.
Pada masanya, dia adalah pembawa bendera asli sastra dan balaghah. Dia memulai
kehidupan sastranya dengan menjadi penyair dan mulai membuat tiga diwan yang
membuat takjub para sastrawan pada zamannya. Mereka menyebutnya “Penyairnya
Pemuda Pemudi”. Kemudian dia beranggapan bahwa syair tidak realistis dan dia
mulai menulis prosa dan kadang-kadang menulis syair.[13]
Thaha Husein
dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika berumur dua tahun telah
terkena penyakit optualmia (kebutaan), penyakit yang biasa menyerang anak-anak
ketika itu, namun penyakit tersebut tidak menghalanginya menuntut ilmu. Ia
belajar al-Quran dan dapat menghafalnya pada usia sembilan tahun.
Pada tahun
1902, ia dikirim orang tuanya untuk belajar di al-Azhar dengan harapan agar
kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi
Thaha Husein keluar dari al-Azhar, ia kecewa dengan sistem pengejarannya yang
sempit dan tidak berkembang serta materi pelajarannya amat tradisonal dan
menjemukan. Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran Muhammad Abduh, salah satu
yang amat menonjol dari keterpengaruhannya adalah sikapnya yang menentang
praktek tawassul di desanya sehingga dicap sebagai seorang
yang tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun
1908 bersamaan dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha Husein mendaftarkan
diri, di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis semisal Iguazio
Buidi, Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon. Pada tanggal 5 Mei 1914
Thaha Husein mempertahankan disertasinya yang berjudul Dzikra Abi al-'Ala dan berhasilyudisium jayyid jiddan pada tahun itu juga Thaha
Husein dikirim ke Perancis untuk belajar sejarah.
Di Perancis
Thaha Husein mulai mengkaji hal-hal yang selama ini ia cari, ia belajar pada
beberapa ilmuan, di antaranya Glota, G. Blook, Seigneboj, Emile Durkheim. Pada
tahun 1917 ia menikah dengan seorang wanita Perancis yang bernama Suzanne
Brusseau. Pada tahun 1918, Thaha Husein berhasil menyelesaikan penulisan
disertasi doktornya yang berjudul Etude Analitique et Critique de
la Philosophie Sociale d' Ibn Khaldoundengan memperoleh yudisium tres honorable, dan di tahun berikutnya
memperoleh gelar Doctorat d' Etat.
Pada tahun
beikutnya 1919, ia kembali ke Mesir dan ditunjuk menjadi dosen sejarah Yunani
dan Romawi Kuno di Universitas Kairo hingga tahun 1925. Ia juga aktif menulis
di surat kabar dan menjadi redaktur al-Siyasah pada
tahun 1922. Pada tahun 1926 diangkat menjadi dosen sejarah sastra Arab pada
Universitas Negeri. Pada tahun 1930 diangkat menjadi dosen sastra dan pada
tahun 1932 dialih tugaskan ke kementerian pengajaran.
Pada tahun
1942 diangkat menjadi rektor Universitas Iskandaria hingga 1944. Pada tahun
1950-1952 ia ditunjuk sebagai Menteri pendidikan Mesir. Pada tahun 1973 Thaha
Husein ditetapkan untuk mendapat hadiah nobel dalam bidang sastra. Thaha Husein
wafat pada tanggal 28 Oktober 1973.
4. Kahlil
Gibran
Khalil Gibran adalah seorang seniman
Lebanon-Amerika, penyair dan penulis. Lahir di kota Bsharri, Lebanon, ia
bermigrasi dengan keluarganya ke Amerika Serikat di mana ia belajar seni dan
memulai karir sastra. Di dunia Arab, Gibran dianggap sebagai pemberontak sastra
dan politik, gaya romantisis-nya berada di jantung renaissance dalam sastra
Arab modern, khususnya puisi prosa. Di Lebanon, ia masih dipuja sebagai
pahlawan sastra, di negara-negara lain Gibran mulai dikenal pada 1923 dengan
karya bukunya The Prophet, sebuah contoh awal dari fiksi inspirasional dengan
serangkaian esai filosofis yang ditulis dalam prosa puitis bahasa Inggris. Buku
ini dijual dengan baik dan mulai populer di tahun 1930-an. Gibran adalah
penyair dengan penjualan terbaik ketiga setelah Shakespeare dan Lao-Tzu.
Sebagian besar dari tulisan-tulisan awal Gibran berbahasa Arab, yang akhirnya
diterbitkan setelah tahun 1918 dalam bahasa Inggris.
Sebagai seorang seniman yang bisa
menggambar dan melukis, ia masuk sekolah seni di Paris 1908-1910, mengejar gaya
romantisis dan simbiolis. Gibran mengadakan pameran seni pertama pada tahun
1904 di Boston. Pada pamerannya tersebut, Gibran bertemu Mary Elizabeth
Haskell, yang akhirnya menjadi wanita yang membawa pengaruh besar tidak hanya
di kehidupan pribadi Gibran, tetapi juga karirnya.
Gibran meninggal di New York City
pada tanggal 10 April 1931, penyebabnya karena sirosis hati dan TBC. Sebelum
kematiannya, Gibran mengatakan keinginan untuk dikuburkan di Lebanon. Keinginan
ini dipenuhi oleh kekasihnya Haskell pada tahun 1932.
5. Najib Mahfudz
Nama lengkapnya adalah Najib Mahfuz
Abdul Aziz Ibrahim Basya, dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1911, di Bandar
Gamalia daerah pinggiran Kairo, Mesir. Keluarganya tergolong misikin dan tidak
mengecap pendidikan yang memadai. Ayahnya adalah seorang pegawai rendahan yang
kemudian beralih profesi menjadi pedagang. Pada tahun 1917, usia enam tahun,
Mahfuz dan keluarganya pindah ke kawasan Abbasiyah. Pada saat itu, Mahfuz mulai
mengecap pendidikan dasar, al-Madrasah al-Ibtida'iyyah. Pada tahun 1924, di
usia tiga belas tahun, Mahfuz memasuki Sekolah Lanjutan; al-Madrasah
ats-Tsanawiyyah Fu'ad al-Awwal.
Seiring peningkatan perekonomian
keluarganya, pada tahun 1930 Mahfuz melanjutkan studinya di jurusan Filsafat
Islam Universitas Kairo. Pada tahun 1934, Mahfuz mengantongi ijazah Sarjana
Filsafat. Sebenarnya, Mahfuz mendapatkan tawaran dari Mustafa Abdul Raziq,
salah seorang Guru Besar Universitas Kairo untuk menempuh program Doktor dalam
bidang Filsafat dan Mistik Islam, namun tawaran itu ditolaknya. Kesenjangan
sosial yang dirasakannya sejak kecil dan penderitaan kaum kecil yang tertindas
oleh kekuasaan birokrasi Mesir membuat solidaritasnya bangkit. Mahfuz memilih
pekerjaan di almamaternya dan menekuni bidang tulis-menulis.
Sejak pertengahan 1936 sampai 1939,
Mahfuz mengabdi di almamaternya sebagai staf Sekretaris Universitas. Karier
Mahfuz menanjak perlahan. Selepas dari pekerjaan ini, ia ditugaskan di
Kementrian Agama dan Urusan Waqaf. Pekerjaan ini ditekuninya hingga tahun 1964.
Pada tahun yang sama, di usia 43 tahun, ia mengakhiri masa lajangnya. Dan sejak
saat itulah terjadi perubahan mendasar pada karier Mahfuz, ia diangkat sebagai
Direktur Pengawasan Seni.
Sepanjang kehidupannya, Mahfuz telah
menulis sekitar 70 cerita pendek, 46 karya fiksi, serta sekitar 30 naskah
drama. Hingga saat ini, karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa dunia termasuk Indonesia. Karya pertama Mahfuz diterbitkan pada tahun
1932, di usia 21 tahun, dalam bentuk terjemahan berjudul al-Misr al-Qadimah.
Sejak itu berturut-turut Mahfudz menulis; Hams al-Junun (1938, Cerpen), Abats
al-Akdar (1939), serta Redouvis (1943) dan kisah Kifah Thibah (1944).
Karya-karyanya tersebut di atas, kerap dianggap sebagai akhir dari periode
romantisme Mahfuz. Setelah karya-karya tersebut, ia menjauhi gaya bahasa
Manfalutisme (gaya bahasa yang digunakan oleh al-Manfaluti). Kemudian Mahfuz
menulis al-Qahirah al-Jadidah (1945).
Tahun 1946, Mahfuz menulis Khan
al-Khalili. Selanjutnya berturut-turut ia menulis Zuqaq al-Midaq (1947),
as-Sarab (1948), serta Bidayah wa Nihayah (1949). Karya-karyanya ini menandai
perubahan gaya bertutur Mahfuz dari romantisme menjadi realisme. Pada tahun
1956-1957, Mahfuz mulai menulis triloginya; Baina al-Qasrain, Qasr asy-Syauq,
dan as-Sukriyyah. Trilogi setebal 1500 halaman ini menjadikannya dianugerahi
hadiah Nobel Sastra yang diterimanya pada tanggal 13 Oktober 1988 dari Akademi
Sastra Internasional di Swedia.
Tahun 1960, Mahfuz menulis Aulad
Haratina (edisi bahasa Inggris oleh Philip Steward dengan judul The Children of
Our Quarter, London; 1981). Novel panjang ini terbagi dalam lima bab, yakni;
Adham, Jabal, Irfah, Rifa'ah, dan Qasim. Penulisan serial novel ini sekaligus
menggambarkan arah baru gaya kepenulisan Mahfuz, yakni Simbolisme-Filosofis.
Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis. Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi (1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan (1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis. Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi (1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan (1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
Pada tahun 1994, Mahfuz mengalami
kejadian yang tidak mengenakkan. Ia ditikam di bagian leher dengan sebilah
pisau dapur. Kejadian ini membuat tangan kanan Mahfuz hampir mengalami
kelumpuhan. Dua orang anggota kelompok militan yang terlibat dalam kejadian
ini, divonis hukuman mati oleh pemerintah Mesir. Pada masa tuanya, Najib
Mahfuz hidup dengan mata yang hampir buta dan kemudian meninggal pada 30
Agustus 2006 setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
BAB III
3.1 Kesimpulan
Perkembangan
puisi modern ditunjukkan dengan adanya dinamika dalam pengembangan puisi.
Di antaranya ditunjukkan dengan adanya aliran-aliran dalam puisi.Seperti aliran
neo-klasik, aliran romantisme, dan aliran puisi bebas.Ketiganya memiliki
ciri-ciri dan latar belakang yang berbeda.Aliran neo-klasik adalah aliran yang
masih menjaga karakteristik puisi klasik.Mereka membuat puisi dengan tetap
menjaga wazan dan qafiyah.Tema-tema sastranya pun seperti halnya
masa-masa klasik.Dan mereka juga membuat puisi-puisi dengan tema sosial,
politik, keagamaan, pendidikan dan lain sebagainya.Aliran romantisme ada karena
mereka melakukan migrasi ke negara-negara eropa.Dalamnya ada dua aliran yang
berbeda dan berkesamaan. Karena satu golongan masih menjaga irama dalam puisi dan
satu golongan lain malah sebaliknya. Sedangkan yang ketiga aliran puisi bebas
adalah aliran puisi dengan bahasa yang familiar dan tidak lagi menggunakan wazan
dan qofiyah dalam berpuisi.
Perkembangan
prosa arabmodern dibedakan dalam dua tahap, yakni prosa terhadap permulaan
pembaharauan dan prosa terhadap perkembangan. Prosa modern dibedakan pada tiga
jenis utama yakni prosa diwan, kitabah adabiyah, kitabah diwaniah, dan kitabh
at ta’lif. Sedangkan genre prosa modern dibagi tiga yaitu rosail, khitabah, dan
qishshah. Karakteristiknya yang membedakan dengan sastra klasik yaitulebih
memperhatikan pemikiran daripada unsur gayanya, tidak banyak menggunakan
kata-kata retoris seperti saja’, tibaq, seperti pada masa sebelumnya,
pemikirannya runtun dan sistematis, pendahuluannya tidak terlalu panjang,
temanya cenderung pada tema yang sedang terjadi pada masyarakat, perkembangan
bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang
panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan
kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat,
dan serba cepat.
Drama Arab
dirintis sekitar pertengahan abad 19 di Suriah yang diprakarsai oleh Marwan
an-naqos. Genre drama Arab meliputi fase Marun Nuqas al-Lubnani,
fase Abu Khalil al-Qubbani, fase
Yakkub Sannu’,fase perkembangan pada
awal abad 20. Sedangkan para sastrawan Arab pada masa ini banyak sekali
diantaranya Abbas Mahmud al-Aqqod, Thaha Husein, Kahlil Gibran, dan Najib
Mahfudz.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad al
Isykindi, Syekh, Syekh Mustofa Annan, al Wasith fi al adab al arobi wa
tarikhihi, (Darul Ma’arif
Bimad).
Al
Maliji, Hasan Khamis, al Adab wa annusus lighairi an natiqina biha bil
arobiyyah (Riyadh: Jamiah al Malik as Su’ud, 1149
H)
Bin Said Bin
Hasan, Dr. Muhammad, al Adab al Arobiyyu wa Tarikhuhu (al ‘asru al hadis), (Riyadh:
Jami’ah al Imam Muhammad bin Sa’ud al Islamiyyah, 1405 H)
Majid
So’idi, Dr, Dr. Toriq Syamli, Fi al Adab al Arobiy al Hadis, (Jami’ah
Ain Hasyim)
Muzakki,
Ahmad Dr. Pengantar Teori Sastra, (Malang:UIN Press, 2011)
Husein,
Muhammad bin Saad. Al Adab Al Aroby wa Tarikhuhu. Saudi Arabia: Jamiah
Imam Muhammad bin Suud Islamiyah.
(http://bocahsastra.wordpress.com/2012/12/08/sejarah-munculnya-drama/)
(http://bocahsastra.wordpress.com/2012/12/08/sejarah-munculnya-drama/
)
(http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/sastra-arab-modern/)
http://alwaysterk.blogspot.com/2011/10/perkembangan-prosa-arab-modern.html.
[2] cerita kepahlawanan; syair panjang yg menceritakan
riwayat perjuangan seorang pahlawan; wiracarita
http://cak-son.blogspot.co.id/2015/01/perkembangan-sastra-arab-modern_8.html
0 komentar:
Posting Komentar